Qurban: Sejarah dan Fiqh-nya

Awal mula Syariat Qurban

Berqurban merupakan syariat yang dibawa oleh Nabi Ibrahim alaihissalam. Hal tersebut dikabarkan dalam al-qur’an sebagai berikut :

وَقَالَ إِنِّي ذَاهِبٌ إِلَى رَبِّي سَيَهْدِينِ (99) رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ (100) فَبَشَّرْنَاهُ بِغُلَامٍ حَلِيمٍ (101) فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ (102) فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ (103) وَنَادَيْنَاهُ أَنْ يَا إِبْرَاهِيمُ (104) قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا إِنَّا كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ (105) إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلَاءُ الْمُبِينُ (106) وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ (107) وَتَرَكْنَا عَلَيْهِ فِي الْآَخِرِينَ (108) سَلَامٌ عَلَى إِبْرَاهِيمَ (109) كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ (110) إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُؤْمِنِينَ (111)

Dan Ibrahim berkata:”Sesungguhnya aku pergi menghadap kepada Tuhanku, dan Dia akan memberi petunjuk kepadaku[1282]. Ya Tuhanku, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang Termasuk orang-orang yang saleh.

Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar[1283]. Maka tatkala anak itu sampai (pada umur dimana ia sanggup berusaha) bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allâh engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami panggillah dia: “Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu[1284] Sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar[1285]. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian, (yaitu)”Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim”. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman. “(Q. S. As Shaffat: 99 )

[1282] Maksudnya: Ibrahim pergi ke suatu negeri untuk dapat menyembah Allâh dan berda’wah.

[1283] Nabi Ismail alaihissalam.

[1284] Yang dimaksud dengan membenarkan mimpi ialah mempercayai bahwa mimpi itu benar dari Allâh ta’âla. dan wajib melaksana- kannya.

[1285] Sesudah nyata kesabaran dan ketaatan Ibrahim dan Ismail a.s. Maka Allâh melarang menyembelih Ismail dan untuk meneruskan Qurban, Allâh menggantinya dengan seekor sembelihan (kambing). Peristiwa ini menjadi dasar disyariatkannya Qurban yang dilakukan pada hari raya haji.

Ada perbedaan pendapat tentang siapa Nabi yang disembelih oleh Ibrahim ‘alaihissalam. Di antara mereka ada yang berpendapat: Nabi Ishaq, inilah yang dipegang oleh ahli Taurat (agama Yahudi) dan Nasrani.

Pendapat yang populer mengatakan bahwa yang diqurbankan adalah Nabi Isma’il ‘alahihissalam, sebab sebagian orang arab ada yang memanggil Nabi shallallâhu alaihi wasallam dengan sebutan “Ibnudz-Dzabihain” (anak dari dua orang yang disembelih), yaitu Isma’il alahihissalam dan Abdullâh (ayah kandungnya). Dan ayahnya menebus hal itu dengan seratus ekor unta. Sedangkan Ibnu ‘Abbas radhiyallâhu ‘anhuma berpendapat bahwa Ibrahim bernadzar secara sirri (di dalam hati) yaitu jika anaknya nanti yang lahir itu adalah laki-laki, maka ia akan menyembelihnya sebagai bukti pengabdian pada Allâh ta’âla. Setelah selang waktu dari hari ke hari, akhirnya sampai pada saatnya Ibrahim harus menunaikan nadzarnya, yaitu menyembelih anak laki-lakinya itu (Ismail), dimana perintah penyembelian itu diterima oleh Nabi Ibrahim melalui mimpi ( QS As Shaffat ayat 99-111) tersebut di atas.

 Umat Nasrani dan Yahudi berpendapat yang di-kurbankan adalah Ishaq ‘alaihissalam. Sebagaimana disebutkan dalam Perjanjian Lama Kitab Kejadian pasal 22:1-19

 FirmanNya:”Ambillah anakmu yang tunggal itu, yang engkau kasihi, yakni Ishak, pergilah ke tanah Moria dan persembahkanlah dia disana sebagai korban bakaran pada salah satu gunung yang akan Kukatakan kepadamu.” (Kejadian 22:2)

 Mengapa demikian? Karena mereka meyakini sebenarnya siapa pelaku dari peristiwa tersebut adalah orang orang atau hamba Allâh yang terpilih, keturunannya akan menjadi terpilih juga… sehingga upaya manipulasi dilakukan dalam kitab suci taurat dan injil….dan untuk itu Al Qur’an diturunkan untuk mengoreksi hal itu sebagaimana dalam Surat As Shaffat tersebut.

 Sebagai informasi yang mendukung argumentasi bahwa orang-orang yang berqurban adalah orang-orang yang dekat dengan Tuhannya adalah kisah Habil dan Qabil:

وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ ابْنَيْ آَدَمَ بِالْحَقِّ إِذْ قَرَّبَا قُرْبَانًا فَتُقُبِّلَ مِنْ أَحَدِهِمَا وَلَمْ يُتَقَبَّلْ مِنَ الْآَخَرِ قَالَ لَأَقْتُلَنَّكَ قَالَ إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ

Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan qurban, Maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). ia berkata (Qabil): “Aku pasti membunuhmu!”. berkata Habil: “Sesungguhnya Allâh hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa”. QS Al Maidah (5):27

 Ats-Tsa’labi mengatakan bahwa ritual qurban pada saat itu menjadi sunnah (kebiasaan) Ibrahim ‘alahihissalam.

Ada sebuah pertanyaan, Apa hikmahnya, Allâh ta’âla menebus Isma’il dengan kambing, bukan unta, sapi atau hewan ternak lainnya?”

Jawabannya adalah bahwa ketika Ibrahim mengambil tali dan pisau, lalu Isma’il bertanya untuk apa alat-alat tersebut, maka Ibrahim menjawabnya bahwa tali dan pisau itu untuk menyembelih kambiig. Dati jawaban Ibrahim tersebut, kemudian Allâh membenarkan pernyataan kekasih-Nya itu (Nabi Ibrahim mempunyai gelar Al-Khâlil/Kekasih). Jawaban lainnya dari pertanyaan tersebut yaitu bahwa Allâh sengaja “menyimpan” seekor kambing yang di-kurbankan oleh Habil bin Adam. Allâh menunda kambing itu agar hamba-hamba-Nya mengetahui bahwa kebaikan yang dilakukan oleh nenek moyang itu bermanfaat bagi anak cucunya. (Bab yang membahas Nabi Ismailبدائع الزهور في وقائع الدهور)

 Meneruskan Sunnah (kebiasaan) Nabi Ibrahim ‘alaihissalam, Rasûlullâh shallallâhu alaihi wasallam beserta umatnya juga diperintahkan menyembelih hewan qurban sebagaimana dalam surat Al Kautsar, dimana perintah tersebut dikaitkan dengan nikmat yang telah banyak diberkan oleh Allâh, maka wajar kalau Allâh meminta kita untuk Shalât dan berqurban. Hal ini merupakan dialektik yang jelas dalam Al Qur’an bahwa Allâh tidak menuntut kita dengan perintah yang berlebihan, semuanya ditakar menurut kadar kemampuan kita.

إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ (1) فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ (2) إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ (3)

Sesungguhnya kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka Dirikanlah shalât Karena Tuhanmu; dan berkorbanlah[1605]. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus[1606].

[1605] yang dimaksud berkorban di sini ialah menyembelih hewan qurban dan mensyukuri nikmat Allâh.

[1606] maksudnya terputus di sini ialah terputus dari rahmat Allâh.

Tafsir Jalalain : (Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu) hai Muhammad (Al-Kautsar) merupakan sebuah sungai di surga dan telaga milik Nabi shallallâhu alaihi wasallam yang nanti (di alam akhirat) akan menjadi tempat minum bagi umatnya. Al-Kautsar juga berarti kebaikan yang banyak, yaitu berupa kenabian, Alquran, syafa’at dan lain lain.

 Dalam Tafsir Ibnu Katsir : kalimat/kata (فَصَلِّ) ditafsiri sebagai: “Shalât maktubah dan Nafilah.”

أي كما أعطيناك الخير الكثير في الدنيا والآخرة ومن ذلك النهر الذي تقدم صفته فأخلص لربك صلاتك المكتوبة والنافلة ونحرك فاعبده وحده لا شريك له وانحر على اسمه وحده لا شريك له كما قال تعالى ” قل إن صلاتي ونسكي ومحياي ومماتي لله رب العالمين لا شريك له وبذلك أمرت وأنا أول المسلمين ” .

Berqurban merupakan salah satu ungkapan rasa syukur

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ

Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih“. QS Ibrahim (14) : 7

 وَآَتَاكُمْ مِنْ كُلِّ مَا سَأَلْتُمُوهُ وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا إِنَّ الْإِنْسَانَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌ

Dan dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dan segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. dan jika kamu menghitung nikmat Allâh, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allâh). QS Ibrahim (14) :34

 Dalam surat lain Allâh ta’âla kembali mengingatkan:

وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا إِنَّ اللَّهَ لَغَفُورٌ رَحِيمٌ

Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allâh, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allâh benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. QS An Nahl (16) : 18

 

إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ (1) فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ (2) إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ (3)

Tafsir Jalalain : (Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu) yakni orang-orang yang tidak menyukai kamu (dialah yang terputus) terputus dari semua kebaikan; atau putus keturunannya. Ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang yang bersikap demikian, dia adalah ‘Ash bin Wail, sewaktu Nabi ditinggal wafat putranya yang bernama Qasim, kemudian si ‘Ash ini, menjuluki Nabi sebagai Abtar yakni orang yang terputus keturunannya.

Qurban yang kita sembelih bukanlah persembahan atau sesaji sebagaimana kepercayaan atau dalam pengertian yang difahami oleh agama selain Islam,

 Secara etimologis kata qurban berasal dari qurb (قرب) atau qurban yang berarti dekat atau mendekat dan Kata Taqarrub juga berasal dari kata tersebut, oleh sebab itu makna Qurban secara bahasa dapat diartikan sebagai salah satu cara untuk mendekatkan diri kepada subhanahu wata’âla, untuk mendapatkan ridhaNya sekaligus cintaNya kepada kita…Insya Allâh.

Kamus Besar Bahasa Indonesia, mengartikan qurban sebagai persembahan kepada Tuhan (seperti biri-biri, sapi, unta yang disembelih pada hari Lebaran Haji). Dalam ilmu fikih, qurban juga disebut udhiah (menyembelih hewan di waktu matahari sedang naik di pagi hari) yang berasal dari kata dahwah atau duha (waktu matahari sedang naik di pagi hari). Dari kata dahwah atau duha tersebut diambil kata dahiyah yang jamaknya udhiah.

 Qurban adalah berasal dari kata Qaraba yang artinya mendekat

ما يذبح في أيام النحر تقرباً إلى الله

Dikaitkan dengan kata Idul Adha diperoleh pengertian Sebagaimana pendapat Syaikh ’Abdul ’Adhim Badawi dalam al-Wajiz fi Fiqhus Sunnah (hal. 402), maknanya adalah :

الأضحية : فهي ما يذبح يوم النحر وأيام التشريق من النعم تقرباً إلى الله تعالى ) شرح زاد المستقنع(

Dalam ilmu fikih, qurban juga disebut udhiah (menyembelih hewan di waktu matahari sedang naik di pagi hari) yang berasal dari kata dahwah atau duha (waktu matahari sedang naik di pagi hari). Dari kata dahwah atau duha tersebut diambil kata dahiyah yang jamaknya udhiah.

 Di dalam al-Mausū’ah al-Fiqhiyah, dikatakan “Hewan yang disembelih dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allâh Ta’âla pada hari nahar dengan syarat syarat yang khusus.

والأضحية: ما يذبح من إبل وبقر وغنم أيام النحر بسبب العيد تقربًا إلى الله تعالى، ومشروعيتهما ثابتة بالكتاب والسُّنة والإجماع. أما الهدي: فقال تعالى: { وَالْبُدْنَ جَعَلْنَاهَا لَكُم مِّن شَعَائِرِ اللَّهِ لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ فَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهَا صَوَافَّ فَإِذَا وَجَبَتْ جُنُوبُهَا فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا القَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ كَذَلِكَ سَخَّرْنَاهَا لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ } .

Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebahagian dari syi’ar Allâh, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah olehmu nama Allâh ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat). kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah Kami telah menundukkan untua-unta itu kepada kamu, Mudah-mudahan kamu bersyukur. Al Hajj (22):36

Dari ayat ini didapatkan informasi mengenai siapa saja yang boleh memakan daging qurban, (yaitu, yang berqurban, orang yang mau/rela memakannya dan orang yang meminta), para imam Mujtahidin memberikan panduan dalam pembagian daging qurban ini

 Tujuan utama berqurban adalah keridhaan Allâh ta’âla.

لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ كَذَلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِينَ

Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allâh, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allâh Telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allâh terhadap hidayah-Nya kepada kamu. dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik. QS Al Hajj (22) : 37

 Dan bagi orang-orang yang mempunyai kecukupan rezeki sangat dianjurkan berqurban, Rasûlullâh shallallâhu alaihi wasallam bersabda :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا

المستدرك 4/258 ، الفتح الرباني 13/58 ، سنن ابن ماجه 2/1044 ، سنن البيهقي 9/ 260 ، سنن الدار قطني 4/276.

Dari Abi Hurairah radhiyallâhu anhu, sesungguhnya Nabi shallallâhu alaihi wasallam berkata :“Barangsiapa yang memiliki kelapangan (harta) namun tidak mau berkurban, maka janganlah ia sekali-kali mendekati tempat sholat kami.” [Shahih Ibnu Majah (no. 2532).]

 “Mendekati tempat shalât kami” oleh Imam asy-Syaukani di dalam as-Sailul Jarrar (IV:44-45) diartikan sebagai Tempat Shalât Idul Adha. Wajhul Istidlal (arah pengambilan dalil) dari hadits di atas adalah jelas menunjukkan akan pentingnya menyembelih Qurban bila keadaan memungkinkan.

وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ

Dan kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar[1285]. (QS.As Shaffat (37): 107).

[1285] sesudah nyata kesabaran dan ketaatan Ibrahim dan Ismail a.s. Maka Allâh melarang menyembelih Ismail dan untuk meneruskan korban, Allâh menggantinya dengan seekor sembelihan (kambing), peristiwa Ini menjadi dasar disyariatkannya qurban yang dilakukan pada hari raya haji.

Kemudian Allâh ta’âla memerintahkan kepada Nabi Muhammad shallallâhu alaihi wasallam untuk meneruskan syariat yang demikian setiap Idul Adha.

Pelaksanaan qurban disyariatkan pada tahun kedua Hijrah, bersamaan dengan pensyariatan zakât serta salat Idul Fitri dan Idul Adha. Pensyariatan ibadah qurban didasarkan pada firman Allâh dan hadits Nabi Muhammad shallallâhu alaihi wasallam sebagai berikut :

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

Maka dirikanlah shalât karena Tuhanmu; dan berkorbanlah[1605]. (QS.Al kautsar (108): 2).

[1605] yang dimaksud berkorban di sini ialah menyembelih hewan qurban dan mensyukuri nikmat Allâh.

وَالْبُدْنَ جَعَلْنَاهَا لَكُمْ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ فَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهَا صَوَافَّ فَإِذَا وَجَبَتْ جُنُوبُهَا فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ كَذَلِكَ سَخَّرْنَاهَا لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

Dan Telah kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebahagian dari syi’ar Allâh, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah olehmu nama Allâh ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat). Kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah kami telah menundukkan unta-unta itu kepada kamu, mudah-mudahan kamu bersyukur. (QS.Al hajj (22): 36).

ودلالتها على وجوب صلاة العيد ونحر البدن ظاهرة ، ولولا أنه صلى الله عليه والسلام  قال 🙁 من وجد سعة فلم يضح فلا يقربنَّ مصلانا ) وفيه تقييد الوجوب بالسعة لقلنا بوجوبها على كل مسلم بالأمصار مثل الصلاة ]. إعلاء السنن 17/241-240

Hadits:

Tidak ada amal keturunan Adam yang lebih disukai Allâh   pada Hari Idul Adha selain menyembelih qurban. Sesungguhnya binatang itu akan datang pada hari kiamat dengan tanduk, kuku, dan bulunya. Dan sesungguhnya darah qurban lebih dahulu tercurah karena Allâh sebelum ia tercurah ke Bumi, yang membuat jiwa menjadi senang” (HR. at-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan al-Hakim).

 Hukum Qurban

Fuqaha (ahli fikih) mempunyai pendapat yang berbeda-beda tentang hukum qurban sebagai berikut :

1.     Imam Abu Hanifah (madzhab Hanafi) berpendapat bahwa hukum qurban adalah wajib dilakukan satu kali dalam setahun. Pendapat tersebut didasarkan pada firman Allâh ta’âla : “Maka dirikanlah salat karena Tuhanmu dan berqurbanlah” (QS.108: 2) dan hadits:

من وجد سَعَةً فلم يضح فلا يقربنَّ مصلانا

“Barang siapa yang telah mempunyai kemampuan tetapi ia tidak berqurban, maka janganlah ia menghampiri tempat salat kami” (HR. Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Majah).

 2. Jumhur ulama yang terdiri dari Madzhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali berpendapat bahwa hukum qurban adalah sunnah mu’akkad dan makruh bagi orang yang mampu tetapi tidak melaksanakan qurban. Pendapatnya disandarkan pada hadits Rasûlullâh : “Apabila kamu melihat hilal (awal bulan) Dzulhijjah dan salah seorang di antara kamu ingin berqurban, maka hendaklah ia menehan diri dari (memotong) bulu dan kuku (binatang qurban)-nya” (HR. al-Jamaah kecuali al-Bukhari). Menurut mereka, penyembelihan qurban dalam hadits ini dikaitkan dengan iradat. Sehingga keterkaitan tersebut menafikan kewajiban berqurban. Karenanya, bagi yang ingin berqurban boleh melakukannya dan hukumnya sunnah. Sebaliknya, bagi orang yang tidak ingin melakukannya tidak dibebani dosa. Pendapat ini disandarkan pada hadits Nabi shallallâhu alaihi wasallam :

“Ada tiga hal yang wajib atasku dan sunnah bagi kamu: salat witir, menyembelih qurban, dan salat dhuha” (HR. Ahmad bin Hanbal, al-Hakim, dan Daruqutni).

“Saya diperintahkan menyembelih qurban dan kurban itu sunnah bagi kamu” (HR. at-Tirmidzi).

Madzhab Maliki memandang hukum sunnah itu hanya berlaku bagi orang selain jamaah haji, sedangkan bagi jemaah haji hukum qurban adalah wajib menyembelih qurban di Mina.

Sedang ulama Madzhab Maliki, di antaranya Ibnu Jazzi al-Kilabi (wafat 741) memandang hukum asal menyembelih qurban adalah sunnah. Namun, hukum asal yang demikian dapat berubah menjadi wajib apabila seseorang bernadzar untuk berqurban atau menyatakan akan melaksanakan qurban secara lisan serta didahului oleh adanya niat untuk melakukannya. Akan tetapi , pendapat Ibnu Jazzi al-Kilabi ini dibantah oleh as-Sadiq Muhammad Amin ad-Darir dan Syamsuddin Muhammad bin Ahmad bin Urfah ad-Dasuqi (wafat 1230 H/1815 M), keduanya ulama Madzhab Maliki. Menurut mereka, hukum sunnah itu hanya dapat berubah menjadi wajib apabila seseorang menyatakan akan menyembelih qurban yang disertai niat berqurban. Adapun bernadzar untuk menyembelih qurban jika tidak diiringi dengan pernyataan lisan tidak mengubah hukum asal qurban.

Sedang Madzhab Syafi’i menjelaskan bahwa hukum menyembelih qurban adalah sunnah bagi setiap individu sekali dalam seumur hidupnya, karena amr (perintah) di sini tidak menghendaki pengulangan (la yaqtadii at-tikrar).

 Ada juga yang memandang sebagai sunnah kifayah bagi setiap keluarga melakukannya sekali dalam setahun pada Idul Adha sebagaimana sabda Nabi shallallâhu alaihi wasallam :

“Hai manusia, qurban itu harus dilakukan oleh setiap keluarga setiap tahun” (HR. Ahmad bin Hanbal, at-Tirmidzi, dan Ibnu Majah).

Bagi Madzhab Syafi’i dan Hanbali, berniat atau bernadzar untuk menyembelih qurban tidak mengubah hukum asal qurban, yakni sunnah mu’akkad. Perubahan itu terjadi apabila nadzar atau niat tersebut dinyatakan dengan lisan. Namun bila seseorang mengatakan: “Insya Allâh saya akan menyembelih qurban”, maka ucapan yang demikian itu tidak mengubah sunnahnya hukum qurban.

Syarat Berqurban

Para fuqaha sepakat tentang syarat-syarat bagi orang yang melakukan qurban sebagai berikut :

1.     Muslim.

2.     Merdeka.

3.     Baligh.

4.     Berakal.

5.     Penduduk tetap suatu wilayah.

6.     Mempunyai kemampuan.

Para fuqaha berbeda pendapat dalam memahami “mempunyai kemampuan” sebagai berikut :

  1. Madzhab Hanafi, mengartikan “mempunyai kemampuan” adalah memiliki senisab zakat di luar kebutuhan sandang, pangan, dan papan keluarganya. barang siapa mempunyai
    kelebihan 200 dirham atau memiliki harta senilai itu, dari kebutuhan
    tinggal, pakaian dan kebutuhan dasarnya maka ia disebut “mampu atau mempunyai kemampuan”.
  2. Madzhab Maliki, mengartikan “mempunyai kemampuan” adalah memiliki harta lebih dari kebutuhan primer dalam tahun itu. Apabila ia mempunyai kelebihan seharga hewan qurban dan tidak memerlukan uang tersebut untuk kebutuhannya yang mendasar
    selama setahun. Apabila tahun itu ia membutuhkan uang tersebut maka
    ia tidak disunnahkan berqurban.
  3. Madzhab Syafi’i, mengartikan “mempunyai kemampuan” adalah seseorang dipandang mampu apabila memiliki harta seharga binatang qurban di luar kebutuhannya dan kebutuhan orang yang berada di bawah tanggung jawabnya pada hari raya Idul
    Adha dan tiga hari tasyriq
  4. Madzhab Hanbali, mengartikan “mempunyai kemampuan” adalah dengan kemungkinan mendapatkan seharga binatang qurban, meskipun didapatkan dengan utang, tetapi yang bersangkutan sanggup membayarnya.

 

Kualitas Hewan Qurban

Syarat-syarat kualitas hewan yang sah untuk qurban adalah :

1. Tidak cacat, sebagaimana ditunjukkan hadits Nabi shallallâhu alaihi wasallam :

“Empat binatang yang tidak sah dijadikan qurban: rusak matanya, sakit, pincang, kurus yang tidak berdaya” (HR. Ahmad bin Hanbal).

2.     Telah mencapai umur tertentu, berdasarkan hadits Nabi shallallâhu alaihi wasallam :

“Janganlah kamu menyembelih untuk qurban melainkan yang telah berganti gigi, kecuali jika sukar didapatkan, maka boleh yang berumur satu tahun dari domba” (HR. Muslim).

Kuantitas Hewan untuk Pe-qurban

Kuantitas hewan untuk pequrban telah ditentukan sebagaimana petunjuk hadits Nabi shallallâhu alaihi wasallam sebagai berikut :

1.   Seekor unta, sapi atau kerbau berlaku untuk 7 (tujuh) orang, berdasarkan hadits Nabi shallallâhu alaihi wasallam yang dikatakan Jabir bin Abdullah dari kaum Ansar sebagai berikut :

“Kami telah menyembelih qurban bersama Rasûlullâh shallallâhu alaihi wasallam pada tahun Hudaibiyah, satu ekor unta untuk tujuh orang dan seekor sapi untuk tujuh orang” (HR. Muslim).

2. Satu ekor domba atau kambing untuk satu orang diqyiaskan kepada denda meninggalkan wajib haji.

 Atau :

Sebenarnya berqurban satu ekor kambing sudah cukup untuk dirinya dan keluarganya sekaligus sehingga tidak perlu setiap anggota keluarga disembelihkan satu hewan qurban. Hal ini sesuai dengan contoh yang dilakukan oleh Rasûlullâh shallallâhu alaihi wasallam ketika berqurban satu ekor kambing kibasy beliau berkata,

بِسْمِ اللهِ اَللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ ، وَمِنْ أُمَّةٍ مُحَمَّدٍ

Dengan nama Allâh, Ya Allâh, ini adalah qurban dari Muhammad dan keluarganya, dan dari Umat Muhammad

وعن عبد الله بن هشام قال 🙁 كان رسول الله صلى الله عليه والسلام  يضحي بالشاة الواحدة عن جميع أهله (رواه الحاكم وقال : صحيح الإسناد . ووافقه الذهبي. المستدرك 4/255

Artinya, beliau berqurban atas nama dirinya dan keluarganya.

Referensi:

وعن عائشة رضي الله عنها 🙁 أن رسول الله أمر بكبش أقرن ، يطأ في سواد ، ويبرك في سواد ، وينظر في سواد ، فأُتِيَ به ليضحي به فقال لها : يا عائشة هلمي المدية .

ثم قال : اشحذيها بحجر ففعلت ، ثم أخذها وأخذ الكبش فأضجعه ثم ذبحه ثم قال : بسم الله اللهم تقبل من محمد وآل محمد ، ومن أمة محمد ثم ضحى به ) رواه مسلم وأبو داود وغيرهما

ونقل ابن قدامة عن صالح بن أحمد بن حنبل قال : قلت لأبي : يُضَحَّى بالشاة عن أهل البيت ؟ قال : نعم لا بأس . قد ذبح النبي صلى الله عليه والسلام  كبشين فقرَّب أحدهما فقال : بسم الله اللهم هذا عن محمد وأهل بيته. وقرَّب الآخر فقال : بسم الله اللهم هذا منك ولك عمن وَحَّدَكَ من أمتي . وحكى عن أبي هريرة أنه كان يضحي بالشاة فتجئ ابنته فتقول: عني، فيقول:وعنك )المغني 9/438 (

 

Usia Hewan untuk qurban

Hewan untuk qurban jika berupa sapi usianya tidak boleh kurang dari dua tahun, jika unta usianya tidak kurang dari lima tahun, jika berupa kambing tidak kurang dari satu tahun, dan jika berupa domba tidak kurang dari enam bulan (badannya gemuk). Namun jika tidak gemuk, hendaknya ia ditangguhkan sampai berusia satu tahun.

Hewan qurban harus berupa ternak yang paling baik. Hewan qurban tidak boleh berupa hewan cacat, ternak yang lemah, yang buta, pincang, dan robek telinganya.

Waktu Penyembelihan Hewan Qurban

Dalam penyembelihan hewan qurban para fuqaha berbeda pendapat dalam melihat ketentuan waktu tersebut sebagai berikut :

1.      Madzhab Hanafi berpendapat bahwa lama menyembelih qurban adalah selama tiga hari, mulai dari hari Idul Adha sampai tanggal 12 Dzulhijjah. Pendapat ini disandarkan pada ucapan tiga orang sahabat Nabi shallallâhu alaihi wasallam, yaitu Umar bin al-Khattab, Ali bin Abi Talib, dan Ibnu Abbas, bahwa “Hari-hari qurban itu tiga hari, yang afdal ialah hari pertama”. Adapun awal waktu penyembelihan qurban adalah ketika terbit fajar pada hari Idul Adha sampai terbenam matahari pada tanggal 12 Dzulhijjah. Namun, makruh tanzih (lebih baik ditinggalkan daripada dikerjakan) hukumnya menyembelih hewan qurban di malam hari. Dan penyembelihan hewan qurban baru boleh dilakukan setelah selesai salat Idul Adha, sekalipun khotbah belum dibacakan. Dasar pendapatnya adalah hadits Nabi shallallâhu alaihi wasallam :

“Barangsiapa menyembelih qurban sebelum salai id, ia telah menyembelih untuk dirinya sendiri, dan barang siapa yang menyembelih setelah salat id, maka ia telah menyempurnakan ibadahnya dan telah menjalani aturan Islam” (HR.al-Bukhari).

2. Madzhab Maliki berpendapat bahwa lama menyembelih qurban adalah selama tiga hari seperti pendapat Madzhab Hanafi. Adapun awal waktunya adalah setelah imam salat id melakukan penyembelihan qurban lebih dahulu. Namun bila imam tidak melakukannya, maka penyembelihan hewan qurban dimulai setelah beberapa waktu yang diperkirakan dibutuhkannya untuk menyelesaikan penyembelihan qurban. Dasarnya adalah hadits yang diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah, bahwa Nabi shallallâhu alaihi wasallam memerintahkan menyembelih qurban setelah Rasûlullâh shallallâhu alaihi wasallam lebih dulu melaksanakan penyembelihan (HR. Ahmad bin Hanbal dan Muslim).

3. Madzhab Syafi’i berpendapat bahwa lama menyembelih hewan qurban selama empat hari yakni pada hari Idul Adha dan hari tasyrik. Alasannya berdasarkan sabda Nabi shallallâhu alaihi wasallam: “Sesungguhnya yang mula-mula kita lakukan pada hari ini (Idul Adha) ialah salat, kemudian pulang, lalu menyembelih qurban” (HR. Ahmad bin Hanbal dan Daruqutni). Permulaan waktu penyembelihan hewan qurban, ketika telah berlalunya (kira-kira) waktu salat dua rakaat dan dua khotbah ringkas setelah matahari setinggi tombak pada Idul Adha. Alasannya berdasarkan hadits Nabi shallallâhu alaihi wasallam: “Siapa yang menyembelih qurban sebelum salat id berarti telah menyembelih untuk dirinya sendiri dan siapa yang menyembelih setelah salat id maka telah menyempurnakan ibadahnya dan telah menjalani aturan Islam” (HR. al-Bukhari). Adapun akhir waktunya ialah sebelum terbenam matahari pada tanggal 13 Dzulhijjah. Mereka juga berpendapat makruh hukumnya menyembelih qurban pada malam hari, karena takut tersalah dalam penyembelihan atau karena tidak ada orang miskin yang hadir pada penyembelihan itu.

4.     Madzhab Hanbali, berpendapat bahwa lama menyembelih qurban adalah selama tiga hari, mulai dari hari Idul Adha sampai tanggal 12 Dzulhijjah (sama dengan Madzhab Hanafi dan Maliki). Tetapi dalam menentukan awal waktu penyembelihan hewan qurban, ketika telah berlalunya (kira-kira) waktu salat dua rakaat dan dua khotbah ringkas setelah matahari setinggi tombak pada Idul Adha (sama dengan Madzhab Syafi’i), dan mereka juga berpendapat makruh hukumnya menyembelih qurban pada malam hari.  Rasûlullâh shallallâhu alaihi wasallam melarang penyembelihan pada malam hari. (HR. at-Tabrani dan al-Baihaqi).

 

Pembagian Daging Qurban

Perbedaan pandangan tentang hukum daging qurban sebagai berikut :

1.     Madzhab Hanafi memandang sunnah daging hewan qurban itu dibagi tiga: sepertiga sunnah dimakan oleh pemiliknya; sepertiga dihadiahkan untuk teman-teman akrab, sekalipun mereka orang kaya; sepertiga lagi disedekahkan kepada orang miskin. Pendapatnya ini didasarkan kepada firman Allâh ta’âla : “Kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta.” (QS.22: 36). Dan hadits Nabi shallallâhu alaihi wasallam yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi shallallâhu alaihi wasallam membagi qurbannya atas tiga bagian: sepertiga untuk keluargana, sepertiga untuk tetangganya yang miskin, dan sepertiga untuk peminta-minta (HR. Hafidz Abu Musa al-Isfahani).

2.     Madzhab Hanbali, memandang sunnah daging hewan qurban itu dibagi tiga: sepertiga sunnah dimakan oleh pemiliknya; sepertiga dihadiahkan untuk teman-teman akrab, sekalipun mereka orang kaya; sepertiga lagi disedekahkan kepada orang miskin (sependapat dengan Madzhab Hanafi). Tetapi mereka memandang wajib bagi pemilik hewan qurban memakan sepertiga dari daging qurbannya, karena perintah yang terkandung dalam ayat di atas mengandung pengertian wajib. Kendati demikian, ulama Madzhab Hanbali membolehkan pemilik qurban memakan daging qurban lebih banyak dari itu.

3.     Madzhab Maliki berpendapat bahwa daging qurban tidak perlu dibagi-bagi. Hadits-hadits yang menerangkan adanya pembagian itu semuanya bersifat mutlak, yang memerlukan perincian. Menurut mereka, Rasûlullâh shallallâhu alaihi wasallam sendiri tidak melarang memakan dan menyimpan daging qurban, tanpa memberikan kepada orang lain, seperti dalam sabdanya : “Saya melarang kamu menyimpan daging qurban lebih dari tiga hari, karena kepentingan sekelompok orang badui. Kemudian Allâh memberikan kelapangan, maka simpanlah olehmu apa yang ada padamu” (HR. Muslim).

4.     Madzhab Syafi’i, hukumnya wajib untuk disedekahkan kepada fakir miskin sebagian dari daging qurban sekalipun jumlahnya sedikit, sementara selebihnya diberikan kepada handai taulan, baik kaya maupun miskin, dan pemiliknya sendiri sunnah memakannya sekedar sesuap. Dasarnya merujuk kepada firman Allâh ta’âla : “Kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta” (QS.22: 36). “Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir” (QS.22: 28). Dan berdasarkan hadits yang mengatakan bahwa, “Rasûlullâh shallallâhu alaihi wasallam biasa memakan hati binatang qurbannya” (HR.al-Baihaqi).

 

Berqurban untuk Orang Lain

Berqurban untuk orang lain terutama bagi orang yang telah meninggal, para fuqaha berbeda pendapat sebagaimana berikut :

1. Madzhab Syafi’i, berpendapat bahwa seseorang tidak boleh (makruh) berqurban untuk orang lain kalau tanpa izin orang tersebut atau wasiat dari orang yang meninggal tersebut.. Bila ada wasiat untuk menyembelih hewan qurban, maka wajib memberikan seluruh daging qurbannya kepada fakir miskin, kecuali ada izin dari yang berwasiat.

 2. Madzhab Maliki, berpendapat bahwa makruh hukumnya berqurban untuk orang yang telah meninggal tanpa pernyataannya (wasiat) sebelum meninggal. Kalau orang itu sebelum meninggal telah menyetakan niatnya, maka sunnah bagi ahli waris berqurban untuknya.

 3. Madzhab Hanafi dan Madzhab Hanbali, memandang tidak ada halangan berqurban untuk orang yang telah meninggal, sekalipun tanpa ada wasiatnya, karena orang yang telah meninggal lebih mengharapkan bantuan berupa doa dan sedekah dari saudaranya yang masih hidup. Pendapat ini disandarkan pada, “Rasûlullâh sendiri pernah meletakkan pelepah-pelepah kurma basah di atas kuburan orang yang meninggal dunia dan menyatakan bahwa hal itu memberi manfaat kepadanya” (HR.al-Bukhari dan Muslim).

Bolehkah membagi daging Aqiqah/Qurban ke Non Muslim

Memberikan sedekah (baik berupa daging hewan aqiqah maupun lainnya dalam bentuk apapun ) kepada non-muslim hukumnya Boleh,. Hal ini didukung oleh sejumlah nash Alquran. Di antaranya Allâh ta’âla berfirman:

لا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

Allâh tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu Karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allâh menyukai orang-orang yang berlaku adil. (QS al-Mumtahanah (60): 8)

وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَى حُبِّهِ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا

Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. (QS al-Insan (76): 8

Menurut para ulama ayat di atas berlaku mutlak, di mana orang yang ditawan adalah para musuh yang berasal dari kalangan non-muslim yang tetap dalam agama mereka.

Nabi shallallâhu alaihi wasallam. juga sering memberikan makanan kepada orang yahudi. Umar juga pernah memberi kepada peminta-minta yang beragama Yahudi. Serta berbagai contoh lainnya.

Namun, kalau zakat para ulama sepakat, tidak boleh diberikan kepada non-muslim.

Amil atau hanya Panitia

Dalam terminologi Ritual qurban tidak ada istilah amil seperti dalam zakat. Yang ada hanyalah kepanitiaan yang mengurus masalah penerimaan dan penyaluran hewan qurban. Qurban bisa dipotong sendiri oleh orang yang hendak menyembelihnya.

Panitia Qurban hendaknya transparan dalam pengelolaan Qurban ini, tentang biaya yang dibutuhkan oleh panitia dalam menyelenggarakan pemotongan hewan qurban dan lain-lain. Orang yang hendak berqurban diberi informasi bahwa harga hewannya sekian ditambah biaya pemotongan dan operasional lainnya.

 Bolehkah daging, kulit, kepala hewan Qurban dijual?

Pada dasarnya daging qurban berikut kulit dan kepalanya tidak boleh diperjual belikan oleh orang yang berqurban dan yang mewakilinya karena ia merupakan hewan yang telah diniatkan untuk ibadah di jalan Allâh ta’âla. Kalaupun kulitnya atau bagian lainnya dijual karena tidak bisa dimanfaatkan, maka hasil penjualannya harus disedekahkan. Berbeda dengan orang miskin yang menerima daging qurban, ia boleh menjual atau menukarnya dengan yang lain. (dept data&IT, dari ngaji keliling bersama Gus Arifin dan berbagai sumber)

Category:Artikel